Ilustrasi via Blogger
Udara pagi menerpa lembut sembapnya
wajah Anaya yang baru saja dibasuh air lima menit lalu. Ia sedang berdiri di
balkon kamarnya. Dingin. Hatinya pilu. Ponsel di tempat tidurnya kembali
bergetar menampilkan nama sahabatnya. Tasya Ardiana. Ah, tidak bisakah ia
mengerti hati Anaya? Ini belum tepat pukul tujuh pagi tapi ia sudah menelpon
Anaya untuk menceritakan tentang Kak Raka yang menyatakan rasa sukanya pada
Tasya semalam dan mereka sudah resmi berpacaran. Anaya selama ini
menyembunyikan perasaannya tentang Kak Raka dari sahabatnya itu. Ia pun menarik
napas dalam dan menghembuskannya dengan berat berharap sesak sisa tangis
semalam bisa menguap dari rongga dadanya. Ia lalu mengambil ponselnya dan
menekan tombol power untuk mematikan daya ponselnya. Anaya tak ingin diganggu
Tasya. Ia ingin menata hatinya terlebih dahulu.
“ANAYAA!”
teriak seorang laki-laki dari depan gerbang rumah Anaya. Please banget gue baru mau tidur lagi. Siapa sih? Omel Anaya dalam
hatinya. Ia pun menuju balkon kamarnya untuk melihat si empunya suara. Gilang? Anaya menyipitkan mata untuk
menegaskan pandangannya. Laki-laki itu memang Gilang, sahabatnya yang kuliah di
Surabaya.
“Dih?
Ngapain lu pagi buta kemari? Kapan balik dari Surabaya? Gak bilang-bilang ih.
Parah,” cecar Anaya setelah Gilang duduk di teras rumahnya.
“Penting
banget? Mata bengep gitu kenapa lu? Kangen sama gue sampe segitu sedihnya
emang?” tanya Gilang tanpa menjawab pertanyaan yang Anaya ajukan duluan.
“Apaan banget deh lu?
Gak jelas dasar,” Anaya mencubit lengan Gilang dan Gilang pun meringis mengusap
bekas cubitan sahabatnya itu. Gilang tahu pasti Anaya sedang ada masalah. Anaya
bukan tipe gadis yang cengeng. Mata sembap itu pasti ia dapatkan karena sesuatu.
Mereka sudah bersahabat sejak SMA dan Gilang paham betul tentang gadis berkuncir
kuda dihadapannya saat ini.
“Jalan yuk! Mumpung gue
lagi di Jakarta nih.”
“Gak mood gue.
Besok-besok aja deh.”
“Gak mau tau pokoknya
nanti jam 10 gue balik lagi buat jemput lu dan lu harus udah siap. Gue beliin
cokelat deh,” ucap Gilang dengan mengangkat-angkat kedua alisnya kepada Anaya.
“Lah? Udah maksa,
nyogok pula”
“Biarin. Udah ya gua
mau lanjut jogging lagi. Bye.” Gilang
pun beranjak dari kursinya dan melambaikan tangan pada Anaya lalu pergi
menjauh. Anaya masih terduduk di kursinya. Mungkin dengan sedikit refreshing bersama Gilang bisa
mengembalikan suasana hatinya. Dia juga sudah lama tidak bertemu Gilang, jadi
apa salahnya?
***
Kota Tua Jakarta
menjadi tujuan Anaya dan Gilang setelah berdebat singkat. Anaya suka sejarah
sedangkan Gilang tidak. Sejak SMA, Anaya memang tertarik dengan pelajaran
tentang masa lalu itu. Bukan masalah bagi Gilang karena ia hanya ingin
menghabiskan waktu bersama perempuan yang ia sayangi. Belum genap satu tahun
mereka berpisah, namun Gilang merasa seperti sudah puluhan tahun tak menemui
Anaya. Gadis itu kini berkacamata dan terlihat lebih manis dari sebelumnya.
Cocok untuk terus hidup di hati Gilang.
Setelah berkeliling ke
beberapa museum yang ada dan mengambil beberapa foto bersama, waktu sudah
menunjukkan pukul empat sore. Matahari
tidak terik sore ini. Anaya dan Gilang memutuskan untuk menyewa sepeda di depan
Museum Fatahillah. Mereka berboncengan. Sembab di mata Anaya tadi pagi sudah
tidak tampak. Namun, senyum ceria Anaya belum terlihat sempurna hingga siang tadi.
Tiba-tiba, sorot mata Anaya tertuju pada sepasang pengunjung Kota Tua. Dua
wajah remaja itu begitu dikenal Anaya. Kak Raka dan Tasya. Luka semalam terbuka
lagi. Anaya tak menyalahkan Tasya. Ia hanya ingin membiasakan hatinya untuk
ikut berbahagia atas hubungan sahabatnya itu.
Gilang menjentikkan
jarinya di depan mata Anaya. Menyadari perubahan raut wajah Anaya, Gilang pun
mengajak Anaya menjauh untuk membeli es selendang mayang. Gilang belum tahu apa
yang menjadi masalah Anaya hingga saat ini. Mungkin, ia akan mencoba
membahasnya kembali nanti.
“Gimana kuliah lu,
Nay?” Gilang membuka pembicaraan.
“Ya gitu-gitu aja, gak
beda jauh lah sama SMA. Tapi enaknya bisa titip absen dan berangkat siang
hehe.”
“Yeeu masi aja ya lu
suka cabut. Kalo cowo-cowonya gimana? Ada yang udah lu taksir belom? Masi
normal kan lu?” goda Gilang dengan raut wajah meledek. Anaya hampir tersedak es
nya.
“Ya normal lah. Ah,
percuma kalo ada yang gua suka juga tapi ternyata dia lebih milih sahabat gua.”
Yap! Akhirnya Gilang paham bahwa ini pastilah alasan penyebab sembabnya mata
Anaya tadi pagi.
“Tasya? Masa sahabat
nikung sih?”
“Iya. Dia gak nikung
sih. Salah gue juga gak cerita soal cowo yang gua suka itu. Eh ternyata Tasya
juga suka dan mereka udah jadian. Yaudahlah, gak penting juga kan? Lu gimana di
Surabaya? Cewe Surabaya kan manis-manis.”
”Mau semanis apapun
cewe Surabaya kalau hati gua udah diisi sama orang Jakarta yang suka sejarah
dan berkacamata, ya gak ngaruh, Nay. Elo.”
“Uhuk. Becanda aja sih
lo. Garing ya, Lang,” Anaya masi belum yakin karena ia hanya menganggap Gilang
sebagai sahabat terbaiknya. Belum ada rasa yang lebih di hati Anaya untuk
Gilang.
“Gua serius, Nay”
Gilang menatap lurus ke mata Anaya. Gilang ingin menjadi pengobat hati Anaya.
Mungkin inilah saatnya Anaya tahu apa yang ada dihatinya saat ini. Ia ingin
menjaga hati Anaya. Gilang tidak menuntut Anaya untuk membalas perasaan yang ia
miliki. Karena apapun status mereka asalkan mereka bisa selalu dekat dan bahagia bersama, Gilang
tidak masalah.
“Tapi kita kan
sahabatan, Lang. Gue gak ada perasaan lebih selain sayangnya seorang sahabat,”
Anaya jujur pada Gilang. Karena percuma apabila ia menggunakan Gilang untuk
menutupi luka hatinya saat ini.
“Gua gak nuntut lu buat bales perasaan gua,
Nay. Gua cuma mau lu tahu. Karena status gak penting buat gua. Itu cuma sebuah
label yang kita ciptain sendiri. Asalkan kita bisa seneng bareng-bareng itu udah
jadi suatu hal yang cukup buat gue. Karena cinta itu sederhana. Jadi, jangan
dibuat rumit. Cinta itu soal perasaan, bukan soal status. Kenyamanan bisa dapet
rasa sayang dari lu sebagai sahabat bukan masalah buat gua, Nay. Intinya gua
sayang sama lu. Udah itu aja.” Kalimat itu terucap dengan lembut di hati
Gilang.
“Hahaha,
serius banget lu. Bercanda gua,” Gilang tertawa sambil menatap Anaya. Anaya
langsung memasang wajah cemberut karena telah merasa dikerjai oleh sahabatnya
itu. Anaya mungkin sebenarnya menyadari bahwa Gilang memang memiliki rasa yang
lebih padanya. Namun, ia tetap menganggap bahwa itu adalah kasih sayang
persahabatan. Sebagai permintaan maaf, Gilang pun memenuhi janjinya tadi pagi
untuk membelikan Anaya cokelat.
Senja
ini begitu berarti bagi Gilang. Satu hari penuh ia habiskan untuk membahagiakan
Anaya. Walaupun mungkin tidak terlalu berhasil, setidaknya sembab itu sudah
hilang dari mata Anaya.
***
Hari
ini adalah hari kepulangan Gilang ke Surabaya. Anaya berniat untuk mengantarnya
ke Bandara, sayangnya pagi ini Anaya mendadak harus menemui dosennya. Anaya
hanya menghubungi Gilang pagi tadi sebelum keberangkatannya. Pesawat Gilang
lepas landas menuju Surabaya tepat pukul 10.00.
Pukul
3 sore, Anaya sedang meminum jus di kantin kampusnya. Sejak bertemu dosennya
tadi, Anaya tidak memegang ponsel sama sekali. Ternyata ada empat panggilan tak
terjawab dari Kak Raka. Saat melihatnya, ia hanya mengernyitkan dahi dan
berfikir untuk apa Kak Raka menghubunginya? Saat membuka fitur pesan, ada satu
pesan dari Gilang yang berisi agar ia menjaga dirinya baik-baik. Tiba-tiba
ponselnya bergetar dan menampilkan nama Kak Raka kembali.
“Halo.
Ada apa ya, Kak?”
“Kamu dimana, Nay?”
“Kantin
kampus”
“Tunggu Kakak di sana”
“Oke”
Anaya
tidak mengerti mengapa Kak Raka ingin menemuinya. Apakah ia sedang ada masalah
dengan Tasya dan ingin meminta solusi padanya? Oh Tuhan. Hatinya masih proses
pemulihan. Haruskan Kak Raka menceritakan tentang hubungannya dengan Tasya
kepadanya?
Ternyata
Kak Raka tidak menceritakan dan meminta solusi apapun padanya. Saat Kak Raka
tiba, ia langsung meminta Anaya untuk ikut dengannya. Anaya bingung sedangkan
Kak Raka hanya bilang bahwa ia akan mengetahuinya nanti. Motor Kak Raka melaju
dengan kecepatan tinggi. Mau tak mau, Anaya pun berpegangan pada pundak Kak
Raka. Apakah ini keadaan darurat sehingga Kak Raka harus memacu motornya dengan
kencang?
Anaya
mengikuti langkah Kak Raka yang menuju lorong rumah sakit. Ia masih belum
memahami apa maksud dari Kak Raka mengajaknya kemari. Mengapa harus ke rumah
sakit? Siapa yang sakit? Berbagai pertanyaan berlalu-lalang dipikiran Anaya.
Akhirnya mereka pun berhenti di depan salah satu kamar. Kak Raka akhirnya buka
suara.
“Kamu
pasti bingung kan? Ini kamar Gilang. Di perjalanan ke bandara tadi pagi, Gilang
kecelakaan. Saat ini kondisinya sangat kritis. Tulang rusuk Gilang patah karena
dadanya terhimpit dashbor mobil.”
Anaya
terdiam mendengar penjelasan Kak Raka. Bagaimana mungkin Gilang bisa
kecelakaan? Ia baru saja membaca pesan masuk dari Gilang agar ia menjaga
dirinya baik-baik selama ia pergi.
“Kakak
siapanya Gilang? Kenapa Kak Raka bisa tau Gilang di sini?” Air mata Anaya mulai
mengambang di kelopak matanya.
“Aku
sepupunya Gilang, Nay. Sebenarnya aku tahu kamu dari Gilang. Gilang sering
menceritakan tentang kamu sama aku. Makanya, setelah keberangkatannya ke
Surabaya dan dia tahu kalau kamu satu kampus sama aku, dia meminta aku untuk
menjaga kamu, Nay. Gilang sayang sama kamu lebih dari seorang sahabat. Aku tahu
betul perasan Gilang sama kamu. Saat aku paham
bahwa kamu mulai punya perasaan lebih sama aku, aku memilih menjauhi
kamu dan jadian dengan Tasya. Karena Gilang jauh lebih bisa buat kamu bahagia,
Nay.”
Anaya
terpaku mendengar semua penjelasan dari
Kak Raka. Ternyata, waktu di Kota Tua, Gilang sudah menyatakan perasaannya yang
sebenarnya pada Anaya. Mengapa Anaya masih saja meragukan rasa sayang Gilang
dan menganggapnya hanya sebagai rasa sayang seorang sahabat? Di depan kamar
rumah sakit ini Anaya tahu kebenaran tentang hati Gilang. Air matanya sudah
jatuh membasahi pipinya. Ia ingin menemui Gilang, ia ingin meyakinkan hatinya
bahwa ia benar-benar menyayangi Gilang dengan rasa yang sesungguhnya. Kak Raka
menemani Anaya masuk dan melihat keadaan Gilang.
Dada
Gilang di perban. Selang infus melekat dengan rapi dipergelangan tangannya.
Banyak kabel yang menghubungkan reaksi badan Gilang ke semua alat yang ada.
Mata Gilang masih tertutup. Anaya menggenggam tangan dengan selang infus itu.
Tangan Gilang. Sahabatnya yang begitu menyayanginya. Mata Anaya lurus menatap
wajah Gilang. Raut wajah itu tertutup dengan tenang. Anaya berbisik di telinga
Gilang, “Hai, Lang. ini gue Anaya. Lo ngapain sih tidur di sini? Kita ke Kotu
lagi yuk. Liat senja disana. Jadi, cepet bangun ya. Gue sayang sama lo.” Tepat
saat Anaya menyelesaikan kalimat terakhirnya, mata Gilang meneteskan air mata
dan nafas terakhir Gilang telah terhembus. Alat pendeteksi detak jantung Gilang
hanya menunjukkan sebuah garis lurus. Tidak ada lagi detak jantung Gilang. Gilang
sudah pergi dengan tenang setelah mendengar kalimat terakhir Anaya.