Sabtu, 20 Oktober 2018

Senja di Kota Tua

Ilustrasi via Blogger

               Udara pagi menerpa lembut sembapnya wajah Anaya yang baru saja dibasuh air lima menit lalu. Ia sedang berdiri di balkon kamarnya. Dingin. Hatinya pilu. Ponsel di tempat tidurnya kembali bergetar menampilkan nama sahabatnya. Tasya Ardiana. Ah, tidak bisakah ia mengerti hati Anaya? Ini belum tepat pukul tujuh pagi tapi ia sudah menelpon Anaya untuk menceritakan tentang Kak Raka yang menyatakan rasa sukanya pada Tasya semalam dan mereka sudah resmi berpacaran. Anaya selama ini menyembunyikan perasaannya tentang Kak Raka dari sahabatnya itu. Ia pun menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan berat berharap sesak sisa tangis semalam bisa menguap dari rongga dadanya. Ia lalu mengambil ponselnya dan menekan tombol power untuk mematikan daya ponselnya. Anaya tak ingin diganggu Tasya. Ia ingin menata hatinya terlebih dahulu. 
            “ANAYAA!” teriak seorang laki-laki dari depan gerbang rumah Anaya. Please banget gue baru mau tidur lagi. Siapa sih? Omel Anaya dalam hatinya. Ia pun menuju balkon kamarnya untuk melihat si empunya suara. Gilang? Anaya menyipitkan mata untuk menegaskan pandangannya. Laki-laki itu memang Gilang, sahabatnya yang kuliah di Surabaya.
            “Dih? Ngapain lu pagi buta kemari? Kapan balik dari Surabaya? Gak bilang-bilang ih. Parah,” cecar Anaya setelah Gilang duduk di teras rumahnya.
            “Penting banget? Mata bengep gitu kenapa lu? Kangen sama gue sampe segitu sedihnya emang?” tanya Gilang tanpa menjawab pertanyaan yang Anaya ajukan duluan.
“Apaan banget deh lu? Gak jelas dasar,” Anaya mencubit lengan Gilang dan Gilang pun meringis mengusap bekas cubitan sahabatnya itu. Gilang tahu pasti Anaya sedang ada masalah. Anaya bukan tipe gadis yang cengeng. Mata sembap itu pasti ia dapatkan karena sesuatu. Mereka sudah bersahabat sejak SMA dan Gilang paham betul tentang gadis berkuncir kuda dihadapannya saat ini.
“Jalan yuk! Mumpung gue lagi di Jakarta nih.”
“Gak mood gue. Besok-besok aja deh.”
“Gak mau tau pokoknya nanti jam 10 gue balik lagi buat jemput lu dan lu harus udah siap. Gue beliin cokelat deh,” ucap Gilang dengan mengangkat-angkat kedua alisnya kepada Anaya.
“Lah? Udah maksa, nyogok pula”
“Biarin. Udah ya gua mau lanjut jogging lagi. Bye.” Gilang pun beranjak dari kursinya dan melambaikan tangan pada Anaya lalu pergi menjauh. Anaya masih terduduk di kursinya. Mungkin dengan sedikit refreshing bersama Gilang bisa mengembalikan suasana hatinya. Dia juga sudah lama tidak bertemu Gilang, jadi apa salahnya?
***
Kota Tua Jakarta menjadi tujuan Anaya dan Gilang setelah berdebat singkat. Anaya suka sejarah sedangkan Gilang tidak. Sejak SMA, Anaya memang tertarik dengan pelajaran tentang masa lalu itu. Bukan masalah bagi Gilang karena ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama perempuan yang ia sayangi. Belum genap satu tahun mereka berpisah, namun Gilang merasa seperti sudah puluhan tahun tak menemui Anaya. Gadis itu kini berkacamata dan terlihat lebih manis dari sebelumnya. Cocok untuk terus hidup di hati Gilang.
Setelah berkeliling ke beberapa museum yang ada dan mengambil beberapa foto bersama, waktu sudah menunjukkan pukul  empat sore. Matahari tidak terik sore ini. Anaya dan Gilang memutuskan untuk menyewa sepeda di depan Museum Fatahillah. Mereka berboncengan. Sembab di mata Anaya tadi pagi sudah tidak tampak. Namun, senyum ceria Anaya belum terlihat sempurna hingga siang tadi. Tiba-tiba, sorot mata Anaya tertuju pada sepasang pengunjung Kota Tua. Dua wajah remaja itu begitu dikenal Anaya. Kak Raka dan Tasya. Luka semalam terbuka lagi. Anaya tak menyalahkan Tasya. Ia hanya ingin membiasakan hatinya untuk ikut berbahagia atas hubungan sahabatnya itu.
Gilang menjentikkan jarinya di depan mata Anaya. Menyadari perubahan raut wajah Anaya, Gilang pun mengajak Anaya menjauh untuk membeli es selendang mayang. Gilang belum tahu apa yang menjadi masalah Anaya hingga saat ini. Mungkin, ia akan mencoba membahasnya kembali nanti.
“Gimana kuliah lu, Nay?” Gilang membuka pembicaraan.
“Ya gitu-gitu aja, gak beda jauh lah sama SMA. Tapi enaknya bisa titip absen dan berangkat siang hehe.”
“Yeeu masi aja ya lu suka cabut. Kalo cowo-cowonya gimana? Ada yang udah lu taksir belom? Masi normal kan lu?” goda Gilang dengan raut wajah meledek. Anaya hampir tersedak es nya.
“Ya normal lah. Ah, percuma kalo ada yang gua suka juga tapi ternyata dia lebih milih sahabat gua.” Yap! Akhirnya Gilang paham bahwa ini pastilah alasan penyebab sembabnya mata Anaya tadi pagi.
“Tasya? Masa sahabat nikung sih?”
“Iya. Dia gak nikung sih. Salah gue juga gak cerita soal cowo yang gua suka itu. Eh ternyata Tasya juga suka dan mereka udah jadian. Yaudahlah, gak penting juga kan? Lu gimana di Surabaya? Cewe Surabaya kan manis-manis.”
”Mau semanis apapun cewe Surabaya kalau hati gua udah diisi sama orang Jakarta yang suka sejarah dan berkacamata, ya gak ngaruh, Nay. Elo.”
“Uhuk. Becanda aja sih lo. Garing ya, Lang,” Anaya masi belum yakin karena ia hanya menganggap Gilang sebagai sahabat terbaiknya. Belum ada rasa yang lebih di hati Anaya untuk Gilang.
“Gua serius, Nay” Gilang menatap lurus ke mata Anaya. Gilang ingin menjadi pengobat hati Anaya. Mungkin inilah saatnya Anaya tahu apa yang ada dihatinya saat ini. Ia ingin menjaga hati Anaya. Gilang tidak menuntut Anaya untuk membalas perasaan yang ia miliki. Karena apapun status mereka asalkan mereka  bisa selalu dekat dan bahagia bersama, Gilang tidak masalah.
“Tapi kita kan sahabatan, Lang. Gue gak ada perasaan lebih selain sayangnya seorang sahabat,” Anaya jujur pada Gilang. Karena percuma apabila ia menggunakan Gilang untuk menutupi luka hatinya saat ini.
            “Gua gak nuntut lu buat bales perasaan gua, Nay. Gua cuma mau lu tahu. Karena status gak penting buat gua. Itu cuma sebuah label yang kita ciptain sendiri. Asalkan kita bisa seneng bareng-bareng itu udah jadi suatu hal yang cukup buat gue. Karena cinta itu sederhana. Jadi, jangan dibuat rumit. Cinta itu soal perasaan, bukan soal status. Kenyamanan bisa dapet rasa sayang dari lu sebagai sahabat bukan masalah buat gua, Nay. Intinya gua sayang sama lu. Udah itu aja.” Kalimat itu terucap dengan lembut di hati Gilang.
            “Hahaha, serius banget lu. Bercanda gua,” Gilang tertawa sambil menatap Anaya. Anaya langsung memasang wajah cemberut karena telah merasa dikerjai oleh sahabatnya itu. Anaya mungkin sebenarnya menyadari bahwa Gilang memang memiliki rasa yang lebih padanya. Namun, ia tetap menganggap bahwa itu adalah kasih sayang persahabatan. Sebagai permintaan maaf, Gilang pun memenuhi janjinya tadi pagi untuk membelikan Anaya cokelat.
            Senja ini begitu berarti bagi Gilang. Satu hari penuh ia habiskan untuk membahagiakan Anaya. Walaupun mungkin tidak terlalu berhasil, setidaknya sembab itu sudah hilang dari mata Anaya.
***
            Hari ini adalah hari kepulangan Gilang ke Surabaya. Anaya berniat untuk mengantarnya ke Bandara, sayangnya pagi ini Anaya mendadak harus menemui dosennya. Anaya hanya menghubungi Gilang pagi tadi sebelum keberangkatannya. Pesawat Gilang lepas landas menuju Surabaya tepat pukul 10.00.
            Pukul 3 sore, Anaya sedang meminum jus di kantin kampusnya. Sejak bertemu dosennya tadi, Anaya tidak memegang ponsel sama sekali. Ternyata ada empat panggilan tak terjawab dari Kak Raka. Saat melihatnya, ia hanya mengernyitkan dahi dan berfikir untuk apa Kak Raka menghubunginya? Saat membuka fitur pesan, ada satu pesan dari Gilang yang berisi agar ia menjaga dirinya baik-baik. Tiba-tiba ponselnya bergetar dan menampilkan nama Kak Raka kembali.
            “Halo. Ada apa ya, Kak?”
            Kamu dimana, Nay?
            “Kantin kampus”
            Tunggu Kakak di sana
            “Oke”
            Anaya tidak mengerti mengapa Kak Raka ingin menemuinya. Apakah ia sedang ada masalah dengan Tasya dan ingin meminta solusi padanya? Oh Tuhan. Hatinya masih proses pemulihan. Haruskan Kak Raka menceritakan tentang hubungannya dengan Tasya kepadanya?
            Ternyata Kak Raka tidak menceritakan dan meminta solusi apapun padanya. Saat Kak Raka tiba, ia langsung meminta Anaya untuk ikut dengannya. Anaya bingung sedangkan Kak Raka hanya bilang bahwa ia akan mengetahuinya nanti. Motor Kak Raka melaju dengan kecepatan tinggi. Mau tak mau, Anaya pun berpegangan pada pundak Kak Raka. Apakah ini keadaan darurat sehingga Kak Raka harus memacu motornya dengan kencang?
            Anaya mengikuti langkah Kak Raka yang menuju lorong rumah sakit. Ia masih belum memahami apa maksud dari Kak Raka mengajaknya kemari. Mengapa harus ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Berbagai pertanyaan berlalu-lalang dipikiran Anaya. Akhirnya mereka pun berhenti di depan salah satu kamar. Kak Raka akhirnya buka suara.
            “Kamu pasti bingung kan? Ini kamar Gilang. Di perjalanan ke bandara tadi pagi, Gilang kecelakaan. Saat ini kondisinya sangat kritis. Tulang rusuk Gilang patah karena dadanya terhimpit dashbor mobil.”
            Anaya terdiam mendengar penjelasan Kak Raka. Bagaimana mungkin Gilang bisa kecelakaan? Ia baru saja membaca pesan masuk dari Gilang agar ia menjaga dirinya baik-baik selama ia pergi.
            “Kakak siapanya Gilang? Kenapa Kak Raka bisa tau Gilang di sini?” Air mata Anaya mulai mengambang di kelopak matanya.
            “Aku sepupunya Gilang, Nay. Sebenarnya aku tahu kamu dari Gilang. Gilang sering menceritakan tentang kamu sama aku. Makanya, setelah keberangkatannya ke Surabaya dan dia tahu kalau kamu satu kampus sama aku, dia meminta aku untuk menjaga kamu, Nay. Gilang sayang sama kamu lebih dari seorang sahabat. Aku tahu betul perasan Gilang sama kamu. Saat aku paham  bahwa kamu mulai punya perasaan lebih sama aku, aku memilih menjauhi kamu dan jadian dengan Tasya. Karena Gilang jauh lebih bisa buat kamu bahagia, Nay.”
            Anaya terpaku  mendengar semua penjelasan dari Kak Raka. Ternyata, waktu di Kota Tua, Gilang sudah menyatakan perasaannya yang sebenarnya pada Anaya. Mengapa Anaya masih saja meragukan rasa sayang Gilang dan menganggapnya hanya sebagai rasa sayang seorang sahabat? Di depan kamar rumah sakit ini Anaya tahu kebenaran tentang hati Gilang. Air matanya sudah jatuh membasahi pipinya. Ia ingin menemui Gilang, ia ingin meyakinkan hatinya bahwa ia benar-benar menyayangi Gilang dengan rasa yang sesungguhnya. Kak Raka menemani Anaya masuk dan melihat keadaan Gilang.
            Dada Gilang di perban. Selang infus melekat dengan rapi dipergelangan tangannya. Banyak kabel yang menghubungkan reaksi badan Gilang ke semua alat yang ada. Mata Gilang masih tertutup. Anaya menggenggam tangan dengan selang infus itu. Tangan Gilang. Sahabatnya yang begitu menyayanginya. Mata Anaya lurus menatap wajah Gilang. Raut wajah itu tertutup dengan tenang. Anaya berbisik di telinga Gilang, “Hai, Lang. ini gue Anaya. Lo ngapain sih tidur di sini? Kita ke Kotu lagi yuk. Liat senja disana. Jadi, cepet bangun ya. Gue sayang sama lo.” Tepat saat Anaya menyelesaikan kalimat terakhirnya, mata Gilang meneteskan air mata dan nafas terakhir Gilang telah terhembus. Alat pendeteksi detak jantung Gilang hanya menunjukkan sebuah garis lurus. Tidak ada lagi detak jantung Gilang. Gilang sudah pergi dengan tenang setelah mendengar kalimat terakhir Anaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar